Untuk Papua Harusnya Kita Satu Suara

Ada banyak sekali kontroversi menyoal Papua yang telah kita dengar sebagai bangsa. Ada soal Freeport, ada soal sparatisme OPM dan dugaan pelanggaran HAM, ada soal otonomi khusus hingga pemekaran Provinsi Papua.

Apakah soal-soal itu telah kita lewati atau belum, itu bukan persoalan. Sebab memang kita, baik sebagai Negara maupun sebagai Bangsa akan terus on going process, terus di dalam kemenjadian dan tak boleh dianggap selesai. Bangsa ini harus terus maju, menatap masa depannya.

Sampai kapan?

Hubungan Radikalisme, RUU HIP dan Uang Kuliah Mahasiswa

Kita, tampaknya sedang diserang wabah baru pasca New Normal—yakni sebuah kebanalan paradoksal yang tumbuh di sana-sini, luruh bersama ini dan itu juga tampak dalam setiap fenomena kebangsaan kita.

kebanalan itu adalah soal lumrah yang telah kita hadapi hari-hari dalam kaitannya dengan cara beragama kita. kebanalan itu sering dituduh sebagai yang “Radikal”. Tentu saja ini adalah suatu pencemaran terhadap kata yang berakar pada Radix yang di peradaban Yunani nan megah itu adalah tentang kedalaman

New Normal, New Pancasilais

Saya ingin memulai tulisan ini dengan mengucapkan kemuakan yang tak mungkin ditahan-tahan lagi; kalian semua sama saja. Yang berdemo dan yang di demo, PA 212, PDIP dan pemerintah—eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Biarkanlah kemuakan ini menjadi pembuka bagi sesuatu yang saya niatkan sebagai risalah. Sebagai pencerah di tengah kekusutan wacana kebangsaan kita, yang belakangan juga adalah wacana jalanan.

Sejak Covid-19 mewabahi kita, dan pemerintah pelan-pelan percaya, kemudian mengeluarkan s

FPI Sudah Bubar dan Kita Lebih Demokratis?

Di tahun 2019, saya pernah menulis sebuah artikel di Qureta dengan judul mendeteksi demagog, menjaga gerbang demokrasi. Di sana saya mencoba menjabarkan ciri-ciri demagog dan bagaimana ia dapat bekerja jika berkaca dari negara-negara yang telah mengalami pencurian demokrasi yang dilakukan warga negaranya sendiri.

Ciri-ciri yang pernah saya jabarkan itu merupakan hasil analisis atau setidak-tidaknya ulasan dari buku How Democracies Die yang ditulis Steven Levitsky dan Danial Ziblat.

Apa yang te

Kemendagri Beri Pesan & Solusi Serapan Anggaran ke Pemda di Sultra

Dirjen Bina Keuangan Daerah Agus Fatoni dan Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Dalam Negeri Tomsi Tohir melakukan monitoring dan evaluasi (monev) serapan anggaran di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Mereka menemui jajaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sultra dan pemerintah kabupaten/kota di daerah tersebut.

Dalam pertemuan Jumat (9/9) itu Fatoni meminta setiap kabupaten/kota yang realisasi anggarannya masih rendah untuk memberikan penjelasan dan masalah yang dihadapi di lapangan. Kemudi

Seperti Indonesia, Feodalisme Belum Selesai

Apa sebenarnya yang kita harapkan dari politik? Kenapa kita harus begitu peduli dengan politik itu? Dan kenapa pula beberapa kita harus ikut serta dalam proses politik?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa sangat beragam dan tak ada jawaban tunggal. Bergantung pada motif kita masing-masing.

Tapi ada jawaban normatif yang bisa kita rumuskan dengan nalar kebanyakan orang Indonesia. Nalar orang-orang yang sebenarnya tak punya cukup waktu untuk memikirkan hal-hal rumit, sebab tuntutan

Brigadir J: Paradoks dan Seruan

Waktu itu hari Senin. Banyak dari kita sedang sibuk masuk ke suasana kerja setelah hari libur mingguan. Di tengah kesibukan itu pula Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan mengumumkan bahwa seorang Brigpol berinisial J telah tewas tertembak dalam insiden baku tembak antar polisi di kediaman seorang Jenderal yang mengisi jabatan Kadiv Propam Polri.

"Yang jelas begini ya, itu benar melakukan pelecehan dan menodongkan senjata dengan pistol ke kepala istri Kadiv Propam itu benar," k

Pandemi, Politik Dunia, dan Politik Indonesia di Masa Depan

Secara historis, pandemi telah memaksa manusia untuk putus dari masa lalunya dan membayangkan dunianya yang baru. Pandemi yang terjadi saat ini juga sama. Ia adalah sebuah portal, sebuah pintu gerbang di antara satu dunia dengan dunia berikutnya.

Kira-kira pada Mei 2019, saya pernah menulis sebuah artikel yang berjudul, Mendeteksi Demagog, Menjaga Gerbang Demokrasi. Artikel itu saya tulis sebagai sebuah kegelisahan saya sendiri pada pemilu yang baru saja ditunaikan.

Artikel itu banyak mengutip

Program Kota tanpa Kumuh dan Ancaman terhadap Demokrasi Indonesia

Pada pembahasan ini, penulis tertarik mengutip data yang dipaparkan seorang peneliti bernama Arjuna Putra Aldino. Ia mengungkapkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) seperti yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa angka dari Indeks Demokrasi kita menurun. Di mana pada tahun 2015, angka itu berada di 72,02 dan di 2016 70,09 poin. Ada penurunan beberapa poin di sana.

Menurutnya, ukuran dari angka-angka itu didasarkan pada tiga aspek; kebebasan sipil (civil liberty), hak-hak politik (politic